Hadits Ke-10 | Topeng
Hadits Ke-10. Rosululloh Bersabda :
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِيْ جَارَةً – تَعْنِي ضَرَّةً – هَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ لَهَا بِمَا لَمْ يُعْطِ زَوْجِيْ؟ قَالَ: الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak dimilikinya adalah seperti orang yang memakai dua baju kebohongan”. (HR. Abu Daud)
Makna global
Pada Hadits Ke-10 di atas, Syidah Asma’ Ra. Mengisahkan ada seorang perempuan bertanya kepada Nabi ﷺ perihal barang yang ditampakkannya di depan madunya agar terkesan bahwa suaminya memberikan sesuatu, padahal yang sebenarnya tidak. Umumnya perempuan melakukan itu agar bisa pamer dihadapan madunya, dan tampak istimewa dibanding istri lainnya sehingga menimbulkan iri. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab bahwa orang yang melakukan itu sama dengan orang yang memakai dua baju kebohongan.
Ibnu Tin mengatakan, maksud Hadits Ke-10 di atas adalah Rasulullah ﷺ ingin mengingatkan kepada perempuan tadi akan bahaya yang timbul akibat berpura-puranya, yakni akan timbul kerusakan dan memunculkan kebencian di antara suami dan madunya, akhirnya menjadi seperti sihir yang memisahkan istri dan suaminya.
Al Qurtubhi berkata : “Perbuatan seorang perempuan merasa mendapat perhatian lebih dari suaminya dihadapan para madunya dianggap berdosa adalah karena ia melakukan tindakan menyerupai tindakan haram”.
Lalu Rasulullah menggambarkan yang dilakukan perempuan tadi dengan dua baju kebohongan, Apa maksud dua baju kebohongan dan mengapa harus dua?. Dua Baju Kebohongan memiliki banyak sekali keterangan. Mengapa harus baju dan mengapa jumlahnya ada dua. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Baju adalah identitas, maksudnya ia membohongi orang lain dengan mengenakan suatu identitas, padahal ia bukan seorang ahlinya.
Kata dua baju yang dimaksud adalah sorban dan sarung , sebagai perumpamaan dua pakaian yang mengindikasikan identitas tertentu. Artinya berbohong lewat identitas adalah perkara yang sangat fatal.
Imam Nawawi berkata : “Para Ulama mengatakan, maknanya adalah : Orang yang berpura-pura dengan sesuatu yang bukan miliknya, lalu ia hiasi dengan kebatilan untuk menutupi agar orang percaya terhadap yang diklaimnya. Ini adalah perbuatan yang sangat tercela sebagaimana orang yang memakai dua baju kepalsuan”.
Sebagian lagi berkata, bahwa baju kepalsuan maksudnya adalah orang yang mengenakan pakaian has ahli Zuhud, Ahli Ibadah dan wara’, ia tampakkan hal itu di hadapan manusia agar ia dianggap sebagai ahlinya, ia berpura2 khusyu’ melebihi khusyu’ yang ada di hatinya. Inilah dua baju kepalsuan tersebut, baju zuhud dan riya’.
Orang yang memakai dua baju orang lain, namun dia bertindak sesuatu sehingga orang menyangka bahwa baju itu miliknya. Orang yang memakai satu baju saja, namun ujung tagannya dilapisi sehingga yang terlihat oleh orang lain adalah dia mengenakan dua baju. | Hadits Ke-10
Imam Al Khotobi mengisahkan, bahwa yang dimaksud baju dalam Hadits Ke-10 ini adalah keadaan dan madzhab. Kebiasaan orang arab mengiaskan baju dengan kondisi penggunanya, artinya yang melakukan itu sebenarnya adalah seorang pendusta yang bertindak tidak sesuai dengan yang diyakininya. Sebagaimana orang yang bohong dengan ucapannya.
Seseorang yang sedang diminta untuk menjadi seorang saksi palsu, lalu dia mengenakan dua pakaian untuk mengecoh orang agar percaya terhadap kesaksiannya.
Baju pada Hadits Ke-10 di atas adalah perumpamaan atas diri pribadi, misal ada orang yang dirinya bersih dari dosa, maka diucapkan kepadanya, bajunya bersih. Juga sebaliknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Khottobi.
Ada juga yang mengatikan dua baju di sini adalah siapapun yang memakai baju kebesaran Ahli Zuhud namun hatinya penuh dengan kebatilan. Keduanya itu adalah tercela, baik pakaiannya maupun kondisi hatinya.
Ada juga yang mengartikan, ia adalah seorang saksi palsu. Nuaim Bin Hammad berkata : “di suatu perkampungan, ada seorang laki-laki yang berwibawa dan punya pengaruh, jika ia diminta untuk memberikan kesaksian palsu, ia segera memakai dua baju khususnya lalu datang dan memberikan kesaksian. Kesaksiannya diterima sebab wibawa dan indanya baju yang dikenakannya”.
Jumlah dua baju di atas, adalah isyarat sebenarnya orang yang berpura-pura, ia telah melakukan dua kebohongan, yaitu berbohong kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain. Begitu juga saksi palsu, dia melakukan kedhaliman dua kali lipat, dia mendhalimi sendiri dan mendhalimi orang yang disaksikan.
Dari beberapa arti tentang baju dan jumlahnya seperti yang tertera di atas, kita tahu bahwa semua mengarah kepada makna yang sama, yaitu bahwa membohongi orang lain dengan identitas, tindakan ataupun yang lain, adalah perbuatan yang tidak baik, dan bisa menimbulkan perkara yang sangat fatal. Hadits Ke-10
Maka Seorang jahil tidak boleh mengenakan identitas orang alim, karena segala perilakunya akan menjadi rujukan dan mengakibatkan hukum Islam menjadi rancu, orang awam melihat seseorang dari penampilan, sehingga lalu mengikutinya dan menganggap yang dilakukannya adalah ajaran Islam. Ini sagat fatal, terlebih pada era saat ini, zaman medsos yang setiap orang diberikan kebebasan untuk berpenampilan dengan atas nama hak asasi.
Shahib Kitab Al Mathamih mengatakan, inilah salah satu keindahan teori penyerupaan, bahwa berpura-pura adalah tindakan haram, maka berangkat dari sini haram pula orang yang belum layak ngajar namun ngotot menjadi guru, dan menyebutkan hukum-hukum yang ia sendiri tidak memahaminya. Hal ini haram karena dianggap menjadikan agama sebagai bahan maainan . Imam Syibli juga berkata, “orang yang ngotot tampil sebelum waktunya, maka sebenarnya ia sedang caper atas hawa nafsunya”.
Sebaiknya orang alim mendeklarasikan bahwa dirinya seorang alim, sehingga dengan demikian orang awam akan tahu kemana harus mencari fatwa dan nasihat. Sikap KePDan dalam menjaga agama sangat diperlukan agar citra islam teap terjaga. Jika Dokter dengan Pdnya mengatakan saya seorang Dokter, seorang Professor dengan Pdnya mengatakan saya adalah professor, maka santri-santri yang sudah cukup ilmunya juga harus berani tampil PD bahwa saya seorang alim, sehingga kajian-kajian di masyarakat tidak didominasi oleh orang-orang yang hanya berpura-pura menjadi ulama.
Dalam Syarh Riyadlus Shalihin, Imam Nawawi mengambil pelajaran dari Hadits Ke-10 ini tentang pentingnya memiliki sifat qanaah, yakni menerima pemberian Allah, beliau berkata ”Maka bersikaplah qanaah, terimalah apa adanya, jika kamu fakir, maka cukup bertindak sesuai kapasitasmu, dan jika kamu kaya, maka cukup bertindak sesuai kapasitanmu juga”.
Sebagian orang mengambil cara berpura-pura menjadi seorang miskin, faqir, atau berpura-pura menyandang disabilitas untuk mengambil empati dan belas kasih masyarakat luas. Cara instan ini tampaknya bagi sebagian orang cukup efektif digunakan mengemis. Sebagian orang ini menggunakan cara berpura-pura untuk mengambil keuntungan dari rasa iba masyarakat. Adapun dampak negatifnya, masyarakat menilai kalangan disabilitas sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif dan kreatif serta patut dikasihani. Padahal mereka memiliki potensi luar biasa dan bisa mandiri secara ekonomi. Tindakan berpura-pura miskin, faqir, atau berpura-pura sebagai penyandang disabilitas untuk kepentingan ini sangatlah diharamkan. Pelakunya wajib mengembalikan pemberian yang diterimanya kepada si pemberi karena ia tidak berhak menerimanya.
Syaikh Ibnu Hajar Al haitami dalam Kitab Tuhfatul Muhatajnya menghukumi tindakan berpura-pura adalah tindakan haram, kata beliau :
وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ، أَوْ صَلَاحٍ، أَوْ نَسَبٍ بِأَنْ تَوَفَّرَتْ الْقَرَائِنُ أَنَّهُ إنَّمَا أُعْطِيَ بِهَذَا الْقَصْدِ، أَوْ صَرَّحَ لَهُ الْمُعْطِي بِذَلِكَ، وَهُوَ بَاطِنًا بِخِلَافِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا، وَمِثْلُهُ مَا لَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنًا لَوْ اطَّلَعَ عَلَيْهِ الْمُعْطِي لَمْ يُعْطِهِ، وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي الْهَدِيَّةِ أَيْضًا عَلَى الْأَوْجَهِ، وَمِثْلُهَا سَائِرُ عُقُودِ التَّبَرُّعِ فِيمَا يَظْهَرُ كَهِبَةٍ وَوَصِيَّةٍ وَوَقْفٍ وَنَذْرٍ
Artinya : “Siapa yang diberikan sesuatu karena ada sifat yang disangka ada dalam dirinya semisal kefakiran, kesalehan, atau nasab yang diketahui dari beberapa tanda bahwa dia diberikan dengan maksud demikian atau si pemberi menjelaskan motifnya sendiri, sedangkan sesungguhnya tidak demikian, maka ia haram secara mutlak untuk menerima pemberian tersebut. Demikian juga bila ada sifat yang disembunyikan dalam diri si penerima yang andaikan tampak pada orang yang memberi, maka dia tidak akan memberinya. Hal ini berlaku juga dalam konteks hadiah menurut pendapat yang lebih kuat. Hukum yang sama juga berlaku pada semua akad tabarru‘ (bantuan sosial) yaitu hibah, wasiat, waqaf, dan nazar,”
Maka berhati-hatilah menggunakan topeng
وَاللَّهُ يَتَوَلَّى الْجَمِيعَ بِرِعَايَتِهِ
Oleh : Ust, Bahruddin Thohir
Sekretaris Umum
Ma’had Nurul Haromain