Ilmu dan Wirid Kekuatan Spiritual dan Intelektual Santri
Ilmu dan Wirid, “Orang wirid itu ibarat mengasah pedang, jika kita butuh kita tinggal tebaskan.” (Abi Ihya)
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang memiliki berbagai model dan metode pembelajaran. Di Jawa, misalnya, terdapat pesantren yang lebih menekankan keilmuan, ada yang mengutamakan wirid, dan ada juga yang fokus pada kedua aspek tersebut secara seimbang. Banyak pesantren mengikuti jalan tengah ini karena Abuya al-Maliki mengajarkan manhaj tersebut kepada para santrinya.
Abuya al-Maliki, seorang ulama besar yang berpengaruh, menerapkan keseimbangan antara ilmu dan wirid di pesantrennya di Rushaifah, Makkah. Para santri di pesantren tersebut mengisi kehidupan mereka dengan dua aktivitas utama: menuntut ilmu dan mengamalkan wirid. Saat tidak sibuk dengan kegiatan keilmuan, para santri sibuk dengan wirid, ratib, hizib, dan aurod dari kitab-kitab karya Abuya, seperti Syawariqul Anwar. Hal ini sesuai dengan prinsip Abuya yang menyatakan bahwa seorang santri wajib memiliki bacaan wirid yang dapat menjaga dirinya dari kesesatan.
Salah satu pesantren yang mengadopsi manhaj Abuya al-Maliki adalah Pesantren Nurul Haromain di Pujon, Malang. Pesantren ini menerapkan metode pendidikan yang sama, yakni menyeimbangkan antara ilmu dan wirid. Setelah shalat berjamaah, para santri memiliki rutinitas membaca berbagai wirid, ratib, dan hizib. Santri menjaga tradisi ini agar terbiasa mendekatkan diri kepada Allah melalui doa dan dzikir.
Kehidupan seorang santri selama di pesantren, meski hanya tiga tahun, berarti ia telah mengasah pedang melalui ratusan bahkan ribuan kali bacaan wirid. Seperti pepatah, “mengasah pedang” artinya mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang penuh tantangan. Ketika santri terjun ke masyarakat, ia tidak hanya mengandalkan ilmu semata, tetapi juga memiliki kekuatan spiritual dari wirid yang selama ini ia amalkan.
Salurkan Wakaf Terbaik Anda Untuk Pembangunan Pondok Putri eNHa
Keseimbangan antara ilmu dan wirid menjadi hal yang mendesak, terutama bagi santri yang akan berdakwah di tengah masyarakat. Dakwah yang hanya berlandaskan ilmu tanpa dukungan wirid sering kali terasa kering dan kurang berkesan. Wirid menjadi pelumas yang melancarkan berbagai kebuntuan, baik dalam menghadapi masalah internal maupun ancaman eksternal dari pihak-pihak yang tidak nyaman dengan dakwah yang kita lakukan.
Bayangkan seorang polisi yang memiliki pistol untuk menyerang dan tameng untuk melindungi diri. Begitu pula seorang santri; pistolnya adalah ilmu, dan tamengnya adalah wirid. Dengan kedua senjata ini, seorang santri mampu menghadapi tantangan kehidupan dan menyeimbangkan antara usaha lahiriah dan spiritual.
Mengamalkan wirid setiap hari ibarat mengasah pedang yang tajam. Kekuatan wirid akan terlihat saat seorang santri berhadapan dengan realitas kehidupan di masyarakat. Abi Ihya menyampaikan bahwa pedang yang sudah diasah dengan baik hanya perlu ditebas saat dibutuhkan.
Di pesantren seperti Nurul Haromain, keseimbangan ini adalah kunci keberhasilan seorang santri. Dengan ilmu, mereka memiliki pemahaman yang kuat untuk berdakwah, dan dengan wirid, mereka memiliki kekuatan spiritual yang menjaga keikhlasan dan keteguhan hati. Ilmu dan wirid bukanlah dua hal yang bertentangan. Melainkan dua komponen penting yang saling melengkapi untuk membentuk pribadi santri yang tangguh, tawadhu, dan siap berdakwah di tengah masyarakat.
Dengan demikian. Pesantren yang menanamkan kedua aspek ini mampu mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual.