|

Taqwa itu Rutin Sedekah

Taqwa, pesan yang wajib disampaikan kepada umat islam minimal sekali dalam sepekan sehingga menjadi salah satu rukun khutbah jum’at. Taqwa, juga menjadi pesan yang seringkali diberikan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabat dalam setiap kesempatan. Dalam Alqur’an juga terdapat ayat-ayat taqwa yang begitu banyak. Ada apa dengan taqwa? Salah satu jawabannya adalah karena taqwa adalah jalan keluar bagi segala permasalahan dan kerumitan hidup. Allah azza wajalla berfirman : “Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Allah selalu menjadikan baginya jalan keluar dan selalu memberinya rizki dengan cara yang tidak disangkanya…”

Selain itu, bagi sebuah komunitas masyarakat yang mendambakan kesejahteraan hidup; aman, sehat, cukup sandang pangan dan papan, taqwa adalah pintu utama yang harus dimasuki oleh mereka sebagaimana dijanjikan Allah azza wajalla dalam firman-Nya :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَي آمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ…

“Jikalau sekiranya penduduk negeri negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi…”

Pertanyaan selanjutnya apakah taqwa itu? Kapan seseorang sudah masuk dalam kategori ber-taqwa? Kapankah sebuah komunitas meraih predikat bertaqwa? Ada banyak sekali kriteria yang harus dipenuhi, dan di antara pilar taqwa yang banyak disebut oleh Allah adalah infak atau rutin bersedekah. Dalam permulaan surat Al-Baqarah misalnya Allah menyebutkan salah satu sifat orang-orang yang bertaqwa adalah :

…وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ

“…dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan, mereka menginfakkan”

Allah azza wajalla juga berfirman yang artinya : “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS Ali Imran : 133)

Pada ayat selanjutnya Allah azza wajalla menjelaskan ciri orang yang bertaqwa :

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ…

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya; baik di waktu senang (lapang) maupun saat susah (sempit)…”

Ada dua hal penting yang perlu diingat dari ayat QS Ali Imran 134 ini ;

Kata menafkahkah atau menginfakkan

Secara bahasa infak memiliki banyak makna di antaranya menjadi miskin, memasarkan, membelanjakan dan sebagainya berbeda-beda mengikuti susunan bahasa sambungannya. Meski demikian hal yang perlu dicermati adalah bahwa kata infak muncul dalam konteks suami harus memberikan belanja kepada isteri dan wali harus memberikan biaya kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Belanja dan biaya ini sifatnya rutin selama masih berstatus sebagai suami dan wali. Itu artinya makna infak bisa difahami sebagai belanja atau biaya yang diberikan secara rutin, terus menerus dan berkesinambungan.

Akhirnya dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa di antara sifat dari orang yang bertaqwa adalah memiliki tradisi rutin bersedekah; harian, mingguan, bulanan atau setiap kali mendapatkan rizki dari Allah. Tak ada yang diterima kecuali pasti disembelih; “Shalatlah dan berkurbanlah!”

Lalu sasaran sedekah rutin atau infak itu kepada siapa? Di sinilah kita harus waspada. Karena bukan hanya kepada isteri dan keluarga kita diperintahkan oleh Allah agar bersedekah secara rutin (infaq). Allah azza wajalla dalam banyak ayat juga memerintahkan supaya ada sedekah rutin kita yang diberikan dan diperuntukkan untuk perjuangan di jalan Allah. Di antara firman-Nya tentang kewajiban ini adalah :

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah. Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Begitu penting perintah infaq (rutin bersedekah) fi sabilillah ini sehingga di sini Allah azza wajalla memberikan ancaman bahwa orang yang tidak mau melakukannya adalah sama dengan menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan. Sedang orang yang mau melakukan infaq fi sabilillah maka disebut sebagai orang-orang yang mampu mentradisikan kebajikan (almuhsin) yang mendapatkan kecintaan Allah azza wajalla.

Berinfak dalam kondisi senang dan susah

Maksudnya berinfak bukan hanya pada sesuatu kebaikan yang disukai, tetapi juga dalam sesuatu kebaikan yang bukan menjadi kesukaan. Atau senantiasa berinfak. Meski harus berjuang untuk bisa melakukannya sebagaimana kisah Sayyidina Ali karramallahu wajhah yang rela menjadi buruh mengangkat air demi bisa menyisihkan uang untuk bersedekah. Makna ini selaras dengan firman Allah yang menyatakan bahwa sedekah bukan hanya bagi orang yang diberikan keluasan rizki. Tetapi juga bagi orang yang rizkinya sempit. Tentu sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah azza wajalla berfirman :

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ…

“Dan hendaknya orang yang memiliki keluasan berinfak dari keluasannya. Dan barang siapa yang disempitkan rizkinya maka hendaknya berinfak dari apa yang diberikan oleh Allah kepadanya….”

Jadi bisa disimpulkan bahwa derajat taqwa sebagai standar kemuliaan manusia di sisi Allah belum bisa diraih oleh seseorang yang belum bisa menjadikan infaq (sedekah rutin) untuk keperluan perjuangan sebagai tradisi kehidupan. Inilah di antara landasan syariat mengapa ada kewajiban berinfaq untuk jamaah bagi semua anggota jamaah.

= والله يتولي الجميع برعايته =