Jihad, Mencari dan Menyebarluaskan Ilmu

Rosululloh Bersabda :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ , قَالَ يَوْمَ الْفَتْحِ : لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ

Dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya Nabi bersabda : “Pada hari penaklukkan Makkah Tidak ada hijrah setelah penaklukkan Makkah, tetapi (masih ada) jihad dan niat yang baik (mencari ilmu dan lari dari fitnah agama)”.

Sabda Nabi ﷺ yang artinya : “Tidak ada hijrah setelah penaklukkan Makkah”

Setiap muslim dimanapun berada hendaknya dalam niatan li’lai kalimatillah, meninggikan kalimat Allah, menyebarkan Agama Islam dan berdakwah. Jika memungkinakan disebuah tempat untuk berdakwah, maka berdakwahlah, namun jika tidak memungkinkan, maka hijrahlah.

Hijrah secara bahasa berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain yang dianggap lebih baik. Dalam hadits di atas, Rasulullah ﷺ telah menyampaikan bahwa tidak ada lagi Hijrah setelah peristiwa Penaklukan (Fathu) Makkah, yakni pasca peristiwa kemenangan Islam atas Kota Makkah. Mengapa demikian? Al Munawi memberikan alasan bahwa Karena Makkah sudah menjadi kota yang aman untuk berdakwah, sementara perintah hijrah adalah dalam rangka untuk menyelamatkan agama. Jika hijrah dari Makkah saat itu hukumnya wajib, maka dengan sabda ini hijrah dari Makkah menjadi tidak wajib, sehingga tidak perlu melakukannya. Selain itu, sabda Rasulullah ﷺ ini merupakan salah satu mukjizat beliau yang berarti bahwa selamanya Makkah akan menjadi Negara Aman untuk menyebarkan agama Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju tempat lain yang aman.

Sebelum Fathu Makkah, kaum muslim tercatat berhijrah dari Makkah dua kali, yakni pertama Hijrah ke habasyah (Ethiopia), dan ke dua adalah hijrah ke Madinah yang kemudian tercatat sebagai tonggak kemenangan Islam, sehingga hijrah kedua ini dijadikan sebagai awal penanggalan tahun Hijriyah. Hal Itu karena kaum Muslim di Makkah saat itu posisinya sangat mengenaskan dan masih belum kuat sehingga nasib agama harus diselamatkan dengan berpindah dari Makkah.

Dengan demikian, karena alasan Hijrah dari Makkah adalah untuk menyelamatkan nasib Islam, maka bagi kaum muslim yang berada dalam kondisi seperti kaum Muslim sebelum Fathu Makkah, berkewajiban berhijrah ke sebuah tempat yang aman untuk Islam, baik itu desa, kota, bahkan sampai ke tingkat Negara.

Ibnu Hajar, pemilik Kitab Fatul Bari lebih memerinci perihal hukum Hijrah ini, yakni :

Negara atau tempat yang senasib dengan Makkah pasca Fathu, yakni sudah sangat aman dan bisa seluas mungkin menyebarkan agama Islam, maka tidak tidak ada kewajiban berhijrah dari tempat tersebut. Namun jika kondisinya masih seperti Makkah pra Fathu, maka ada tiga kemungkinan :

  1. Ia mampu berpindah, dan ia tidak mempu menampakkan Islam dan menjalankan kewajiban sebagai muslim, maka berhijrah hukumnya wajib baginya.
  2. Ia mampu berhijrah namun ia masih bisa menampakkan agama, bisa mengerjakan kewajiban sebagai seorang Muslim, maka hijrah baginya adalah sunnah, tujuannya agar di tempat lain ia bisa memperbanyak kaum muslimin, mengenal mereka dan bisa rehat dari melihat kemungkaran.
  3. Ia tidak bisa berhijrah, baik karena fator sakit, dana atau yang lain, maka ia diperbolehkan bertahan di tempat tersebut namun ia harus tetap berupaya berhijrah demi keselamatan agama.

Hadits di atas memberikan pelajaran bagi semua orang Islam bahwa dimanapun ia berada, tujuan utama adalah berdakwah, memberitahu kepada manusia tentang Tuhan yang hak untuk disembah. Bagaimanapun kondisinya, sekali pun hanya bisa berdakwah dalam sebuah keluarga saja, namun jika sudah sampai pada kondisi nasib Islam yang dipertaruhkan, maka sebaiknya berhijrah

Hadits di atas juga memberikan pelajaran bahwa Islam adalah perkara terpenting dalam hidup. Bahkan lebih penting dari harta, keluarga dan jabatan. Harta boleh dihabiskan demi Agama, bahkan nyawa pun boleh dipertaruhkan demi eksitensi Islam.

Sabda Rasulullah ﷺ yang artinya : “Namun Masih ada Jihad dan niat yang baik.”

Maksudnya, Jika Hijrah dari Makkah sudah tidak ada, maka masih ada cara lain yang keutamannya sama dengan Hijrah dari Makkah, yaitu Jihad dan niat yang baik. Bahkan Jihad akan terus ada semenjak Rasulullah diutus, dan selalu diperintahkan dalam Islam sampai Akhir dari Umatku berhasil membunuh Dajjal. Nilai jihad sama dengan Hijrah sebelum fathu Makkah.
Rasulullah ﷺ bersabda :

و الجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال (أبو داود)

“Jihad akan terus ada semenjak aku diutus sampai akhir dari umatku berhasil membunuh Dajjal”

Jihad adalah berjuang dan mengerahkan semua kemampuan, baik dengan tenaga, logika, tahta, harta ataupun nyawa untuk mempertahankan eksistensi agama Islam dan pengajarannya. Jika Hijrah adalah jihad dengan berpindah, maka Jihad adalah usaha pertahanan dan perjuangan yang lebih umum, bisa berupa hijrah atau pun upaya yang lain.

Jihad ini hukumnya wajib bagi setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Yang punya tenaga, jihadlah dengan tenaga. Ajari anak-anak Islam untuk menjadi pemuda yang bertenaga. Ingatlah bahwa Allah lebih mencintai Orang mukmin yang kuat, termasuk kuat fisiknya daripada yang lemah. Amalan terbesarmu bukanlah shalat, karena anak kecil juga bisa shalat. Ajarilah mereka kekuatan untuk memperjuangkan agama Allah, membentenginya dari orang-orang yang ingin mengahncurkannya.

yang punya logika, akal yang kuat dan ilmu yang luas, maka jihadlah dengan akal dan ilmumu. Patahkanlah argumen-argumen orang munafiq dan musiyrik yang berkeinginan menumbangkan agama Islam. Sadarkanlah mereka dengan kekuatan nalar dan ilmu sehingga mereka bisa sadar dan menjadi muslim yang sadar akan agamanya.

Yang punya tahta dan jabatan, maka jihadlah dengan jabatanmu. Ingat, segenggam kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang harta. Tegakkan Islam dengan penamu. Hanya selembar kertas dan bubuhan tanda tangan bisa merubah nasib Islam dan kaum muslim menjadi baik.

Yang punya harta, maka jihadlah dengan hartamu. Belilah tanah seluas-luasnya untuk dijadikadan sebagai tempat penyebaran Islam. Sejahterakanlah para Ulama dan Guru Agama Islam sehingga mereka tidak dibuat pusing dua kali karena sempitnya ekonomi, sehingga mereka bisa maksimal mengkader dan mendidik orang Islam. Amal terbaiknmu bukanlah shalat, karena anak kecil pun juga bisa mengerjakan shalat, bukan juga puasa, karena orang fakir pun bisa berpuasa. Namun amal terbaikmu adalah hartamu. Semakin banyak harta yang kau persembahkan maka semakin tinggi derajatmu disisi Allah.

Initinya, apapun yang kamu punyai, gunakan itu sebaik mungkin untuk Islam. Itulah amalan terbaikmu, yang hanya kamu saja yang mampu mengerjakannya yang tidak dimiliki orang lain.

Sabda Rasulullah ﷺ yang artinya “dan Niat”

Yakni Niat yang baik memiliki kesamaan pahala dengan Hijrah. Apa maksud Niat ?
Niat yang baik dalam kegiatan apapun. Seperti yang dikatakan olen Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Artinya kegiatan apapun selama diawali dengan niat yang baik maka ia akan mendapatkan pahala sesuai niatnya, termasuk jika berniat hijrah. Untuk keterangan niat, bisa direview kembali pada penjelasan hadits pertama. Mencari Ilmu dan lari dari Fitnah Agama. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Asyraf Bin Amir Bin Ali Bin Haidar

Berkaitan dengan Ilmu, ada beberapa poin yang perlu kita pahami :

Pembagian Ilmu Ilmu yang dimaksud disini bukan sembarang ilmu, sehingga mendapatkan keutamaan layaknya berhijrah. Namun yang dimasud di sini adalah ilmu yang mengantarkan kepada penyembahan kepada Allah taala.

Rasulullah ﷺ telah memberikan klasifikasi melalui sabdanya :

العلم ثلاتة، وما سوى ذلك فهو فضل: آية محكمة، أو سنة قائمة، أو فريضة عادلة (أبو داود)

“Ilmu ada tiga, selainnya berarti lebihan: Ayat Muhakamah, Sunnah yang tegak, dan Faridlah yang adil”

Bahwa ilmu yang pokok ada tiga, selain tiga tersebut berarti lebihan, atau Fadhl. Tiga ilmu tersebut adalah Al-Quran, Hadits dan Faraid. Ada dua pengertian Faraidh di sini, pertama adalah ilmu waris dan yang kedua adalah ilmu yang menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban seseorang. Sementara kata Fadhl ada yang bentuk jamaknya Fadhail, artinya keutamaan, ada pula yang bentuk jamaknya fudhul, artinya cairan kotor manusia, seperti ingus dan lain-lain.

Dengan demikian maka selain tiga ilmu pokok tersebut ada dua kemungkinan, yakni ilmu postif dan ilmu negative. Kategori poisitif atau negatifnya adalah seberapa besar ia menjadi media bertaqwa kepada Allah, jika dengan ilmunya ia bisa menambah ketaqwaan, baik itu berupa ilmu Matematika, Fisika ataupun yang lain, maka ia adalah ilmu positif. Sementara jika ilmunya justru menjauhkan seseorang dari Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka jelas ia adalah ilmu negative, posisinya seperti ingus yang menjijikan setiap orang yang melihat. Contohnya seperti ilmu kapitalisme dan libaralisme.

Selain itu, positif negative sebuah ilmu juga bisa ditentukan oleh usernya, yakni sangat subyektif. Jika pemiliknya bisa menjadikannya sebagai alat untuk menuju taqwa kepada Allah, maka ilmu apapun menjadi positif baginya.

Dari Hadits di atas, ilmu pertama dari tiga ilmu pokok adalah al-Quran. Al Quran ini menjadi ilmu luas tanpa batas. Karena Al Quran bukan saja sebagai ilmu petunjuk hidup di dunia, namun ia menjelaskan dan menjadi panduan manusia dari sebelum kehidupan, saat hidup bahkan nanti setelah hidup. Al Quran adalah intinya inti dari sebuah ilmu, karena ia adalah kalam Pencipta manusia yang diwahyukan kepada Utusannya, Nabi Muhammad ﷺ.

Tujuan Al Qur’an sebagai ilmu adalah untuk diajadikan sebagai petunjuk, (Huda), seperti yang dijelaskan Allah taala dala QS Al Baqarah Ayat : 2 dan 185. Untuk bisa menjadi petunjuk, maka ia harus memahaminya. Untuk bisa memahaminya, ia harus bisa membaca bahkan menghafalnya. Sehingga barawal dari sini, maka urutan mempelajarinya adalah : (1) cara membacanya, yang kemudian terkenal dengan istilah Ilmu Tajwid (2) Menghafalnya, ilmu Tahfidz (3) Memahaminya, Ilmu Tafsir (4) mengamalkannya dan (5) Mengajak orang lain untuk mengamalkannya. Dari sekian banyak tahapan, semuanya membutuhkan ilmu pelengkap (ilmu alat) untuk mendapatkannya, seperti contoh ilmu tafsir, untuk bisa menguasai ilmu tafsir dan menjadi Mufasir, seseorang harus bisa menguasai 14 Fan Ilmu, seperti yang di kutip Oleh Imam Suyuthi dalam Kitab Al Itqannya. 14 fan tersebut adalah : Ilmu lughah, Nahwu, Sharf, Istiqaq, Maani, Bayan, Badi’, Qira’at, Ushuluddin (tauhid), Ushul Fiqh, Asbab nuzul, Nasikh Mansukh, Fiqh, hadits dan Ilmu Ladunni.

Dari sekaian banyak ilmu pelengkap itu, tujuannya adalah untuk bisa memahami Al Quran agar bisa dijadikan sebagai pentujuk bagianya. Sebagaimana yang dilakukan pada zaman para Sahabat, mereka rata-rata hafal Al Quran, bukan untuk mendapat gelar seorang Hafidz, namun menghafal agar mudah menjadi panduan hidupnya, mengingat zaman dahulu belum banyak kertas seperti sekarang. Tidak perlu ada kontes hafidz, namun hafal.

Namun sayang seribu sayang, terkadang ada juga kaum muslim yang tidak memahami tentang hakikat ini, sehingga orang Islam sendiri ada yang menganggap bahwa bisa membaca Al Quran sudah final, sehingga sudah tidak perlu belajar lagi, ia menganggapnya sudah cukup. Lebih dari itu ia menganggap bahwa final adalah hafal Al Quran, sehingga ia bercita-cita menjadi hafidz, hanya demi mendapat gelar sebagai Seorang Hafidz, sehingga ikut pula kontes, ingatlah bahwa amal bergantung niatnya.

Ketahuilah, bahwa jika hanya sekedar bisa membaca, maka orang kafir juga membaca Al Quran, bahkan mereka menghafal dan berupaya memahaminya. Yang membedakan dengan orang Islam adalah mereka tidak berniat sama sekali menjadikan Al Quran sebagi petunjuk yang diikuti, melainkan dipelajari untuk di tampakan kelemahnanya, meskipun juga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mendapatkan hidayah dari Allah dan kemudian menjadikan Al Quran sebagai pentunjuknya

Ilmu Adalah Penggerak. Adalah sebuah fakta kita menjumpai seorang muslim yang gemar sekali melakukan kebaikan, namun juga sebaliknya. Lalu kira-kira apa penyebab utamanya?

Jawaban 1, bawah amal adalah selera pelaku. Sehingga orang shalih jelas beda selera dengan orang fasiq. Jawaban 2, bahwa kebaikan itu identik dengan surga, dan keburukan adalah neraka. Surga berada di atas sementara Neraka ada di bawah, sehingga wajar orang susah diajak berbuat baik, karena naik ke atas juga berat, beda dengan turun yang relative ringan dan tidak membutuhkan tenaga, itulah mengapa orang mudah diajak berbuat dosa dan mendakwahkannya.

Sebenarnya kedua jawaban tersebut tidaklah salah. Namun kalau kita teliti lebih lanjut lagi, penyebab utamanya adalah “ketidaktahuan”. Yakni orang fasiq tidak tahu akan indahnya surga dan mudahnya mendapatkan pahala sehingga ia enggan untuk berbuat baik. Ia sangat enggan dengan sedekah, karena yang ia ketahui adalah sedekah sama dengan mengurangi miliknya. Ketidaktahuan itulah penyebabnya, sehingga solusinya adalah ilmu. Dengan ilmu orang akan tahu tentang fungsi dan keutamaan ajaran Islam. Dengan Ilmu orang akan giat beramal dan semakin dimudahan dalam menapaki jalan surga. Ilmu adalah penggerak, hal ini seperti yang telah disabdakan Rasulullah ﷺ bahwa orang mencari ilmu untuk mendapatkan ridha Allah, itu sama dengan memudahkan langkahnya menuju surga. Kata kuncinya adalah ilmu. Jika ada orang yang kurang giat beramal, ia bukan kurang ngopi namun kurang ilmu. Demikianlah pentingnya ilmu, sehingga mencari ilmu ini posisinya seperti Hijrah pra Fathu Makkah.

Upaya Kaum Kafir Dalam Membunuh Generasi

Orang Kafir tahu, bahwa Al Quran adalah sumber kebangkitan Muslim. Sehingga dengan menjauhkannya dari anak-anak, sama dengan menciptakan generasi yang akan menghancurakn Islam sendiri dan mudah disetir oleh mereka.

Diantara upaya yang dilakukan antara lain: menjauhkan anak-anak dari al Quran; Bahasa Arab harus kalah favorit dari bahasa inggris; Mencipitakan kelompok yang mengharamkan penghormatan kepada ulama lewat salim cium tangan; mengklasifikasikan ilmu ke dalam ilmu umum dan Agama. Dan lain-lain

Pengklasifikasian ini tak ubahnya bagian dari upaya untuk memisahkan agama dengan dunia. Imbasnya ketika sejak usia SD, murid sudah diarakan mencari ilmu sesuai dengan jurusannya, misal ia sudah memilih jurusan umum, maka ia akan melanjutkan studinya sesuai dengan jurusannya, sampai pada tingkatan yang paling tinggi, misalkan menjadi Seorang Prof. hal ini sekilas terlihat sangat baik, namun tidak jarang ketika seorang Prof tersebut ditanya mengenai masalah agama, ia dengan entengnya akan menjwab, “silahkan anda bertanya kepada Ustadz atau kyai, karena ia bukan bidang saya”. Betul memang jawabannya, namun faktanya, adalah ada seorang Muslim yang otaknya sangat tinggi sampai ke tingkat prof namun tidak mengerti urusan agamnya.

Hal ini berbeda dengan konsep Al Ghazali yang mengklasifikasikan ilmu menjadi ilmu wajib Ain dan Kifayah. Wajib Ain berarti setiap Muslim dalam mencari ilmu, yang pertama kali yang harus dicari adalah ilmu yang wajib atasnya, seperti shalat, zakat dan lain-lain. Setelah ia menuntaskan semua kewajiban Ainnya, maka ia baru mencari ilmu yang wajib kifai seperti astronomi, kedokteran dan lain –lain, sehingga dengan teori ini, muncul orang-orang tersohor seperti Al Jabar, Al Khawarizm, dan lainnya yang diakui dunia timur dan barat. Mereka Ilmuwan namun mereka juga sangat tahu mengenai perihal shalat, urusan agama lainnya.

والله يتولى الجميع برعايته

Oleh : Ust.Bahruddin Thohir
Sekretaris Umum Ma’had
Nurul Haromain – Pujon